Jurnalisbersatu Dalam riuhnya kalender dan rutinitas dunia modern, dua momentum spiritual hadir nyaris beriringan namun sering terlupakan maknanya: 1 Muharram dalam kalender Hijriyah Islam, dan Malam 1 Suro dalam budaya Jawa. Keduanya bukan sekadar penanda waktu, tapi cerminan akan pentingnya berhenti sejenak, menata hati, dan bertanya: sudah sejauh mana aku berhijrah?
1 Muharram Hijrah sebagai Revolusi Kesadaran
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah bukan semata perpindahan geografis, melainkan transformasi sosial, spiritual, dan moral. Ia melambangkan keberanian menanggalkan keterikatan lama demi kehidupan yang lebih bermakna. Pada bulan suci Muharram, kita diajak untuk:
– Berpuasa Asyura, tidak hanya sebagai ritual tetapi sebagai bentuk solidaritas sejarah dan penyucian jiwa.
– Muhasabah diri, melihat ke dalam: sudahkah lisan ini jujur, pikiran ini bersih, langkah ini lurus?
– Sedekah, yang tidak hanya berarti memberi materi, tapi juga perhatian, waktu, bahkan maaf.
– Silaturahmi, memperkuat jejaring kebaikan yang sering terputus karena ego atau kesibukan.
1 Muharram adalah undangan terbuka dari sejarah untuk melakukan revolusi kesadaran: berhijrah dari malas menjadi tekun, dari dendam menjadi damai, dari lupa menjadi sadar.
Malam 1 Suro: Antara Mistisisme dan Refleksi Sosial
Di tanah Jawa, Malam 1 Suro dikenal sebagai malam hening yang sarat makna simbolik. Kepercayaan terhadap batas tipis dunia nyata dan gaib mengingatkan kita bahwa hidup ini lebih luas dari apa yang bisa kita indera. Tradisi seperti tapa bisu, ziarah leluhur, hingga larung sesaji adalah bentuk penundukan ego dan penyadaran akan keterbatasan manusia.
Namun alih-alih berhenti pada kemistisan, Malam 1 Suro bisa diartikan sebagai momen kebudayaan untuk kembali ke akar: memahami nilai lokal, menjaga harmoni sosial, dan menghidupkan spiritualitas yang membumi. Ia mengajarkan bahwa kekuatan bukan hanya ada pada kata-kata, tapi juga diam yang kontemplatif.
Dua Tradisi, Satu Pesan
Islam dan budaya Jawa, meski berbeda ruang tafsir, memiliki benang merah yang sama di awal tahun ini: ajak untuk berhijrah secara batin Bukan sekadar perayaan, tetapi perenungan. Bukan hanya seremoni, tetapi komitmen memperbaiki diri.
Sebab pada akhirnya, tahun baru tidak akan berarti apa-apa jika jiwa masih terperangkap dalam pola lama. Dan barangkali, justru dalam keheningan 1 Suro atau khidmat 1 Muharram, kita bisa mendengar suara hati yang paling jujur “Sudahkah aku menjadi versi terbaik dari diriku hari ini?”
Penulis: M Junaidi Halawa
Editor: M Junaidi Halawa